Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Yang terhormat Ibu guru bahasa Indonesia, dan semua teman – teman yang saya cintai dan saya banggakan. Segala puji bagi Allah yang telah memberi sebaik-baik nikmat berupa iman dan islam. Salawat dan doa keselamatanku terlimpahkan selalu kepada Nabi Agung Muhammad Saw berserta keluarga dan para sahabat-sahabat Nabi semuanya.
Ilmu, pada hakikatnya dapat merubah seseorang. Dari pola berfikir, sikap, hingga merubah diri orang tersebut. Pun Iman dan amal.
Iman, Ilmu, Amal. Sebuah trilogi yang tidak dapat di pisahkan. Saling terkait.
Iman tanpa ilmu, sesat. Ilmu tanpa Amal, sesat. Amal tanpa ilmu, taklid.
Ilmu.. sesuatu yang sering disepelekan. Tidak dipelihara dengan baik. Kadang ilmu hanya dijadikan sesuatu yang nisbi. Ada tapi tidak ada..atau..Tidak ada tetapi ada?
Akhir-akhir ini saya banyak menemui fenomena, yang membuat saya berasumsi bahwa kadang seseorang tidak faham ilmu yang sedang dipelajarinya. Untuk apa ilmu itu digunakan? Akan bagaimana bila mengamalkan ilmu itu? Fenomena klasik, tapi tetap membuat saya tidak habis fikir.
Belajar, mencari ilmu kadang di jadikan formalitas belaka. Karena prestise, harga diri, atau bahkan desakan dari pihak orang lain, orang tua, suami, istri, atasan di kantor, misalnya. Pada akhirnya ilmu tidak mengkristal di dalam diri. Tidak meninggalkan bekas. Bahkan mungkin, tidak menjadikan diri lebih baik. Terdengar skeptis? Ya, bisa jadi.
Mengangkat dari sebuah sketsa profil yang pernah saya perhatikan. Seorang pemuda bertahun-tahun menjalani kehidupan islami di sebuah institusi pendidikan islam, pesantren. Kehidupan santri ia lakoni. Bertahun-tahun itu pula ia seakan menjadi sosok idaman semua orang. Cerdas, kreatif, alim, giat dan sebagainya. Label nilai-nilai moral positif menggantung di dirinya.
Ia menjalani semua aktifitas di kota santri sepenuhnya. Kurikulum pesantren jadi makanannya sehari-hari. Fiqh, Aqidah, Akhlaq, Muamalah dan lain-lain. Hingga sebuah ironi muncul ketika masa santrinya berakhir. Jubah santri di lepas. Label-label moral itu jatuh satu-persatu. Ia menjadi manusia baru.. Lebih baikkah? Sayang, ternyata tidak menjadi lebih baik. Justru yang terlihat adalah kemunduran moral.
Budaya jahil pun di rangkulnya. Lepas kendali dalam berinteraksi menjadi kebiasaan barunya. Seperti orang yang bebas dari kerangkeng. Seperti orang yang datang ke peradaban baru. Tidak mau tertinggal episode-episode dunia yang mungkin tidak dirasakannya dulu.
Mengapa bisa seperti itu? Inilah mungkin yang dimaksud Rasulullah, bahwa ilmu harus senantiasa bersama dengan iman dan di iringi oleh amal.
Sayang sekali. Kalimat itu yang hinggap di fikiran saya. Ilmu kadang hanya di ukur dari gelar-gelar yang berderet panjang pada nama. Di ukur dari jumlah koleksi buku. Di ukur dari jumlah biaya yang dikeluarkan. Diukur dari image sebuah kampus. Entah apakah bisa ilmu itu di jadikan manfaat , bahkan pada dirinya sendiri. Masih bisa di hitung dengan jari orang-orang yang benar-benar konsekuen dan bertanggung jawab dengan ilmu yang di milikinya.
Demikian pidato saya hari ini. Maaf jika ada salah kata. Karena tak ada gading yang tak retak, tak ada manusia yang tak sempurna. Terimakasih atas perhatiannya.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Yang terhormat Ibu guru bahasa Indonesia, dan semua teman – teman yang saya cintai dan saya banggakan. Segala puji bagi Allah yang telah memberi sebaik-baik nikmat berupa iman dan islam. Salawat dan doa keselamatanku terlimpahkan selalu kepada Nabi Agung Muhammad Saw berserta keluarga dan para sahabat-sahabat Nabi semuanya.
Ilmu, pada hakikatnya dapat merubah seseorang. Dari pola berfikir, sikap, hingga merubah diri orang tersebut. Pun Iman dan amal.
Iman, Ilmu, Amal. Sebuah trilogi yang tidak dapat di pisahkan. Saling terkait.
Iman tanpa ilmu, sesat. Ilmu tanpa Amal, sesat. Amal tanpa ilmu, taklid.
Ilmu.. sesuatu yang sering disepelekan. Tidak dipelihara dengan baik. Kadang ilmu hanya dijadikan sesuatu yang nisbi. Ada tapi tidak ada..atau..Tidak ada tetapi ada?
Akhir-akhir ini saya banyak menemui fenomena, yang membuat saya berasumsi bahwa kadang seseorang tidak faham ilmu yang sedang dipelajarinya. Untuk apa ilmu itu digunakan? Akan bagaimana bila mengamalkan ilmu itu? Fenomena klasik, tapi tetap membuat saya tidak habis fikir.
Belajar, mencari ilmu kadang di jadikan formalitas belaka. Karena prestise, harga diri, atau bahkan desakan dari pihak orang lain, orang tua, suami, istri, atasan di kantor, misalnya. Pada akhirnya ilmu tidak mengkristal di dalam diri. Tidak meninggalkan bekas. Bahkan mungkin, tidak menjadikan diri lebih baik. Terdengar skeptis? Ya, bisa jadi.
Mengangkat dari sebuah sketsa profil yang pernah saya perhatikan. Seorang pemuda bertahun-tahun menjalani kehidupan islami di sebuah institusi pendidikan islam, pesantren. Kehidupan santri ia lakoni. Bertahun-tahun itu pula ia seakan menjadi sosok idaman semua orang. Cerdas, kreatif, alim, giat dan sebagainya. Label nilai-nilai moral positif menggantung di dirinya.
Ia menjalani semua aktifitas di kota santri sepenuhnya. Kurikulum pesantren jadi makanannya sehari-hari. Fiqh, Aqidah, Akhlaq, Muamalah dan lain-lain. Hingga sebuah ironi muncul ketika masa santrinya berakhir. Jubah santri di lepas. Label-label moral itu jatuh satu-persatu. Ia menjadi manusia baru.. Lebih baikkah? Sayang, ternyata tidak menjadi lebih baik. Justru yang terlihat adalah kemunduran moral.
Budaya jahil pun di rangkulnya. Lepas kendali dalam berinteraksi menjadi kebiasaan barunya. Seperti orang yang bebas dari kerangkeng. Seperti orang yang datang ke peradaban baru. Tidak mau tertinggal episode-episode dunia yang mungkin tidak dirasakannya dulu.
Mengapa bisa seperti itu? Inilah mungkin yang dimaksud Rasulullah, bahwa ilmu harus senantiasa bersama dengan iman dan di iringi oleh amal.
Sayang sekali. Kalimat itu yang hinggap di fikiran saya. Ilmu kadang hanya di ukur dari gelar-gelar yang berderet panjang pada nama. Di ukur dari jumlah koleksi buku. Di ukur dari jumlah biaya yang dikeluarkan. Diukur dari image sebuah kampus. Entah apakah bisa ilmu itu di jadikan manfaat , bahkan pada dirinya sendiri. Masih bisa di hitung dengan jari orang-orang yang benar-benar konsekuen dan bertanggung jawab dengan ilmu yang di milikinya.
Demikian pidato saya hari ini. Maaf jika ada salah kata. Karena tak ada gading yang tak retak, tak ada manusia yang tak sempurna. Terimakasih atas perhatiannya.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.